Jumat, 19 Juni 2009

Intinya Upacara Kuwera Bakti Darma Wisundarah

Upacara Kuwera Bakti Darma Wisundarah ini untuk menjalankan ‘pesan’ Kasepuhan (orangtua adat) dari Kanekes, yang menitipkan 3(tiga) Gunung, yaitu Pakualam yang harus diperhatikan sebagai tempat suci yang penting bagi warga adat yang mengakui dirinya urang Bandung. Gunung TangkubanParahu adalah yang ketiga setelah Gunung Wayang dan Gunung Gede.


Menyiapkan amparan bagi kehidupan yang sangat baru, dari perubahan yang sangat besar di semesta ini, yang akan datang dengan waktu tak lama lagi. Mempererat persaudaraan sedunia dengan Sapajajaran, Silihwangian Sabuana.

Inti upacara dari semua upacara (juga di tiga Gunung tersebut) adalah berterimakasih, menerima semua kasih dengan menebarkan kasih diantara sesama ciptaanNya. Bersama-sama (dengan menerima perbedaan bangsa serta budayanya, warna kulit, gender, atau apapun, sebagai anugerah alamiah, dengan penuh cinta kasih yang murni, ) kita pancarkan rasa terkasih kita dengan karya bakti keindahan, memuji dengan semua persembahan, tata ruang, musik, nyanyian dan tarian, serta seluruh kesungguhan darma menerima Cahaya Hyang Maha.

Kamis, 18 Juni 2009

Upacara Di Tangkuban Parahu tanggal Juli 26, 2009 yang di mintah oleh Ketua orang Bandui dalam



.........Kuwera Bakti Darma Wisundarah
........



Tangal
: Juli 26, 2009.
Tempat: Gunung Tankuban Parahu


Rajah Sabuana

Upacara akan dilaksanakan di puncak Gunung TangkubanParahu (berarti: Perahu Terbalik), merupakan salah satu gunung yang mengitari cekungan bandung, gunung berapi yang letaknya di utara Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Gunung TangkubanParahu adalah anak dari letusan Gunung Sunda Purba (Purwakancana), konon merupakan gunung tertinggi di dunia di jaman dahulu.

Dua kata yang cukup penting, memberi isi pada upacara kita nanti, yaitu Parahu dan Gunung Sunda.

Parahu pun dapat bermakna Para yang artinya bisa menunjukan jamak, atau juga bisa berarti “yang diatas” sebagaimana para adalah berarti ruang diatas atap penutup sebuah ruangan dalam sebuah bangunan, dan hu berarti “Dia yang tertinggi”. Jadi Parahu bisa berarti “Mereka yang tertinggi, yang terdahulu, yang menjadi sumber hidup”.


Lamanya upacara digelar satu hari, di mulai sejak matahari terbit, hingga matahari hampir terbenam,.

Upacara akan dibersihkan secara spiritual oleh Belasan orang Kasepuhan (tetua adat sunda), dengan bunyi-bunyian dari angklung buhun dan tarian adat, mereka datang berjalankaki sejauh lebih dari 300km selama berhari-hari menuju tempat upacara, dari kampungnya di Kanekes (Baduy dalam), Banten, Indonesia. Perjalanan kaki tersebut dilaksanakan sejak tanggal l4 Juli dari Kampung dan sampai di Jalan Dr. Curie no.1, Bandung tanggal 24 Juli. Kemudian besoknya tanggal 25 Juli berjalan kaki menuju Puncak Gunung Tangkuban Parahu. Mulai jam 8 pagi.

(Orang Kanekes/”Baduy dalam” adalah warga adat sunda wiwitan yang menjalani hidup sangat sederhana dan bertapa (yoga), mereka menyadari tugasnya, yaitu “Ngabaratapakeun telungpuluhtelu nagara” (hidup bertapa untuk seluruh isi dunia), dan telah hidup seperti itu turun-temurun selama ratusan tahun atau mungkin lebih dari seribu tahun yang lalu)

Setelah itu, dengan keadaan seluruh peserta upacara telah berkumpul dalam suasana cukup fokus, maka dilanjutkan “Kuwera Bakti”, di buka oleh rajah kacapi suling oleh jaro rajah, dilanjut oleh semua peserta upacara dari berbagai bangsa, berbagai kepercayaan, berbagai cara, untuk meditasi bersama, bermusik, , nyanyian adat, serta tarian . Berakhir dengan Rajah Pamunah dan Tarawangsa.

Penyelenggara, peserta dan waktu



Upacara diselenggarakan oleh warga adat sunda wiwitan di Kota Bandung, juga didukung oleh warga adat, serta beragam komunitas sosial yang ada di daerah Gunung TangkubanParahu dan sekitarnya. Bekerjasama dengan semua orang yang memiliki perhatian terhadap semua warisan sakral leluhurnya (adat).


Peserta terbuka untuk seluruh orang yang tertarik mengikutinya, baik individu ataupun komunitas, terutama adalah yang bisa mewakili komunitas-komunitas warga adat di seluruh dunia yang masih memelihara adat dan ajaran dari leluhurnya. Keikutsertaan tidak selalu harus menghadirkan orang yang mewakili, tapi juga dapat digantikan oleh alat atau simbol, berupa persembahan yang biasa disertakan dalam sebuah upacara di tempatnya masing-masing.

Akan tetapi kekuatan warna yang indah akan sangat diharapkan, apabila keikutsertaan juga menampilkan upacara dengan tatacara, mantera, nyanyian, musik atau tarian yang biasa digelar dalam sebuah upacara berterimakasih bagi Sang MahaPemberi, seperti di tempatnya masing-masing, di tanah leluhurnya. Kami yakin semuanya dapat menggelar bersama dengan mengalir secara harmonis.


Waktu upacara, dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 26 juli 2009, atau dalam penanggalan Kalasunda: Wuku Sungsang, Radite-pahing, 11 Kresnapaksa, Yesta 1945 Candrakala, 5 Kawalu 1931 Suryakala, sejak matahari terbit hingga hampir terbenam. Dimana saat itu pun disebutkan sebagai hari yang baik untuk menebar benih.


Penyelenggara mengharapkan segala bantuan yang tulus, baik itu dana, tenaga, atau pemikiran dari semua pihak. Diharapkan pula para individu atau komunitas yang tertarik untuk turut serta dalam upacara ini, mengkonfirmasikan semua bentuk dukungannya, lewat semua fasilitas komunikasi yang tersedia.

Bandung, 7 Maret 2009

(3 Suklapaksa 1945 Candrakala-Kalasunda)

Jaro Salametan

Kanta Purwadinata

Konfirmasi:

Alamat Panitia : Jl. Dr.Curie no 1 Bandung Indonesia

Kontak : 1. Gin-gin Akil +62 081572337200 (Bhs.Indonesia/Sunda)

2. Wawan Sarbani Akil +62 081395382559 (Bhs.Indonesia/Sunda)

3. Sri “Gaby” Rahayu +62 081236072633 (English/French)

Bank : BCA 0080340249 a/n. Akil Afiat Ginanjar

Email : sundawiwitan@gmail.com

Tumpekan





Kegiatan tersebut adalah sebuah upacara dengan tata cara budaya sunda, yang dimaksudkan untuk berkumpul dan berterimakasih kepada semua yang menjadi asal (wiwitan) kehidupan yang kita rasakan ini, atau hakikatnya berterimakasih kepada Sang MahaKuasa.


Rasa terimakasih tersebut dijewantahkan dengan melakukan ekspresi terbaik dan terindah dari laku budaya yang menjadi kepribadian sejati (Sunda wiwitan),.



Tumpekan intinya berterimakasih atau syukuran (Nganuhunkeun), yaitu laku spiritual yang mengasah kaelingan (kesadaran sejati) sebagai manusia. Dengan cara upacara adat budaya sunda, dimana dengan cara ini, karena merupakan cahaya jembar (universal) sunda wiwitan, maka tidak dibatasi oleh perbedaan apapun yaitu misalnya agama, kesukuan atau ras, jenis kelamin dan lain sebagainya, terbuka untuk siapapun yang mau menerima cara tersebut dan yang ingin merasakannya.


Rasa Naganuhunkeun yang terus diasah menguatkan rasa kemanusiaan, berbagi keindahan serta kebahagiaan yang dihidupkan dan semuanya mengerucut dalam perbuatan, sehingga getar kasih sayang memancar terhadap sesama, alam sekitar dan semesta ini.


Seni yang di gelar dalam upacara, sesungguhnya adalah seni tuntunan, dimana seni bagian dari darma, yaitu asal muasal (buhun) dari tugas seni pada awalnya dalam bagian kebudayaan keseluruhan, yang dapat dimengerti melalui cara pandang budaya sunda.

Rasa indah dan rasa bahagia yang ada dalam seni dapat mengantarkan kita pada kesadaran hidup, bila itu bagian dari pendalaman sejatinya hidup kita, dan itu mengharmonikan keberadaan kita dengan semesta ini.


Ini adalah metode menuju puncak yang sangat efektif, sebagai warisan leluhur sunda yang sangat tua, dimana perangkat yang dipakai menyampaikan getar semesta yang terasa dari keindahan, kesuburan dan kesejahteraan alam parahiyangan.

Musik traditional

Foto ini menunjut salah satu alat musik traditional Sunda; Kecapi. Yang lain misalnya angklung, karinding, cilempung (yang di buat dari bambu), akan dilantunkan pada saat upacara di Tangkuban parahu.

Sabtu, 13 Juni 2009

Kata2 dari peserta Bandung




...Eling, eling mangka eling/ Eling kadiri sorangan/ Eling ka diri nu lian/ Urang jeung Alam taya antara3x/ Mun aya antarana Urang rek cicing dimana? iyeuh.../ Pun, Hirup ti pamedalan nepi Pangbalikan/ Neda Ampun Nya Paralun/ Neda Jembar Pangampura/ Hampura Sapapanjangna

Ahuuuuung...

[Terjemah Bhs.Ind:...Sadar, sadar hingga sadar sesungguhnya/Sadar akan diri sendiri/Sadar kepada diri yang lain/Kita dengan Alam tiada berjarak 3x)/Bila berjarak Kita bertempat dimana?/ Hai..Pun (Kuserahkan), Hidup sejak lahir hingga kembali pulang/Mohon Ampun semua pengampunan/Mohon Keluasan Pengampunan/Pengampunan sepanjang-panjangnya/

Ahuuuuung...(Engkau YangMaha)]

Rumpaka Rajah Pamunah

Lagu tradisi adat Sunda


Rajah di Gunung TangkubanParahu, memberi ketegasan bahwa di setiap titik di bumi ini, alam telah memberi tempat dan tanggungjawab kepada setiap hidup yang terpilih untuk satu dengan lingkungan hidupnya, dan eksistensi itu tidak dapat diubah dengan apapun karena itu sudah terbentuk dan tumbuh secara alamiah ribuan tahun lalu atau lebih, jadi pasti di setiap tempat ada para pendahulu.

Itulah sebabnya, Pancaran kasih para pendahulu harus dihidupkan, para pemelihara warisan leluhur sangat baik dipertemukan dalam satu perjamuan spiritual, yaitu salah satunya berkumpul melakuan ritual bersama di Perahu alam, Gunung TangkubanParahu, yaitu salah satu Gunung yang tersisa dari Gunung Sunda Purba (Purwakancana).


Semoga kita semua, dapat melakukan darma dengan ‘kebeningan rasa’. Memancarkan Cinta kasih bagi semua yang telah lahir dan nyata, sebagai bagian dari Yang MahaHidup. Rahayu, Rahayu, rahayu.

Kamis, 11 Juni 2009

Sedang Menikmati Musik Tarawangsa. (Salah satu musik adat Sunda)














Wileujeng Sumping (Selamat Datang)